Jumat, 21 Oktober 2011

PEMBAGIAN HUKUM SYAR’I

Pembagian Hukum Syar’i
Pada umumnya ulama ushul Fiqih membagi hukum syar’i menjadi dua bagian : hukum taklifi dan hukum
1. Hukum Taklifi
Yang dimaksud dengan hukum taklifi ialah syar’i yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukalaf) atau yang mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan. ( H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 41)
Hukum taklifi ini terbagi kepada lima bagian : ijab, nadb, tahrim, karabah, dan ibadah.
Ijab (wajib) adalah firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2) : 43 :

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'”.

Nadb (Sunnah) adalah firman Allah yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan perbuatan yang tidak pasti, tetapi hanya untuk berbuat.
Misalnya, firman Allah surat Al-Baqarah (2) : 282 :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.

Tahrim (Haram) adalah firman yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3 :

‘Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi’

Karahah (Makruh) adalah firman Allah yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk tidak berbuat. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 101 :

“Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu ……”

Ibahah (Mubah) adalah firman Allah yang memberi kebebasan kepada mukalaf untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan. Misalnya, Allah dalam surat Al-Baqarah 235 :

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran ….”

Ulama’ Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian yaitu dengan membagi firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti kepada dua bagian, yaitu fardhu dan ijab. Begitu juga firman yang menuntut untuk tidak melakukan suatu perbuatan dengan pasti kepada dua bagian takrim dan karahah tanzih.
Menurut kelompok ini bila suatu perintah didasarkan dalil yang qath’i seperti dalil Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir maka perintah itu disebut fardhu. Namun, bila suruhan itu berdasärkan dalil yang zhanni ia dinamakan ijab.
Begitu pula larangan. Bila larangan itu berdasarkan dalil zhanny, ia disebut karahah tanzih.
Dengan pembagiari seperti tersebut di atas, Ulama’ Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada fardhu, ijab, tahrim, karahah tanzih, nadb dan ibadah.
Walaupun golongan yang disebut terakhir ini membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian, tapi pada umumnya ulama sepakat membagi hukum tersebut kepada lima bagian seperti telah disebut di atas. Kelima macam hukum itu menimbulkan efek terhadap perbuatan mukalaf dan efek itulah yang dinamakan al-ahkam al-khamsah oleh ahli fiqih, yaitu wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah. (H.Alaiddin Koto, 2004, hal. 42-44)
a. Wajib
Pada pokoknya yang disebut dengan wajib adalah segala perbuatan yang diberi pahala jika mengerjakannya dan diberi siksa (‘iqab) apabila meninggalkannya. Misalnya, mengerjakan beberapa rukun Islam yang lima.
Dihhat dari beberapa segi, wajib terbagi empat :
1. Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang dituntut, wajib dapat dibagi dua :
a. Wajib mu’ayyan (ditentukan) yaitu yang telah ditentukan macam perbuatannya, misalnya membaca fatihah, atau tahiyyat dalam sholat.
b. Wajib mukhayyar (dipilih) yaitu yang boleh pilih salah satu dari beberapa macam perbuatan yang telah ditentukan. Misalnya, kifarat sumpah yang memberi pilihan tiga alternatif, membeni makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin atau memerdekakan budak.
2. Dilihat dan segi siapa saja yang mengharuskan memperbuatnya, wajib terbagi kepada dua bagian:
a. Wajib ‘aini, yaitu wajib yang dibebankan atas pundak setiap mukhalaf. Misalnya, mengerjakan sholat lima waktu, puasa Ramadhan, dan lain sebagainya. Wajib ini disebut juga fardhu ‘ain.
b. Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat, tanpa melihat siapa yang mengerjakannya. Apabila kewajiban itu telah ditunaikan salah seorang diantara mereka, hilanglah tuntutan terhadap yang lainnya. Namun, bila tidak seorangpun yang melakukannya, berdosalah semua anggota masyarakat tersebut. Misalnya, mendirikan tempat peribadatan, mendirikan rumah sakit, sekolah, menyelenggarakan sholat jenazah, dan lain sebagainya.
3. Dilihat dari segi kadar (kuantitas) nya, wajib itu terbagi kepada dua :
a. Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan kadar atau jumlahnya. Misalnya, jumlah zakat yang mesti dikeluarkan, jumlah rakaat sholat, dan lain-lain.
b. Wajb ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas bilangannya. Misalnya, membelanjakan harta di jalan Allah, berjihad, tolong-menolong, dan lain sebagainya. (H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 44-46)
b. Haram
Haram adalah segala perbuatan yang dilarang mengerjakannya. Orang yang melakukannya akan disiksa, berdosa (‘iqab) dan yang meninggalkannya diberi pahala. Misalnya, mencuri, membunuh, tidak menafkahi orang yang menjadi tanggungan, dan lain sebagainya.
Perbuatan ini disebut juga maksiat, qabih.
Secara garis besarnya haram dibagi kepada dua :
1. Haram karena perbuatan itu sendiri, atau haram karena zatnya. Haram seperti ini pada pokoknya adalah haram yang memang diharapkan sejak semula. Misalnya, membunuh, berzina, mencuri, dan lain-lain.
2. Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain, atau haram karena faktor lain yang datang kemudian. Misalnya, jual beli yang hukum asalnya mubah, berubah menjadi haram ketika azan jum’at sudah berkumandang. Begitu juga dengan puasa Ramadhan yang semula wajib berubah menjadi haram karena dengan berpuasa itu akan menimbulkan sakit yang mengancam keselamatan jiwa. Begitu juga dengan lamnnya. (H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 46)
c. Mandub
Mandub adalah segala perbuatan yang dila1ukan akan mendapatkan pahala, tetapi bila tidak dilakukan akan dikenakan siksa, dosa (‘iqab). Biasanya, mandub ini disebut juga sunat atau mustahab dan terbagi kepada :
1. Sunat ‘ain yaitu segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi mukalaf untuk dikerjakan, misalnya sholat sunat rowatib.
2. Sunat kifayah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh salah seorang saja dan suatu kelompok, misalnya mengucapkan salam, mendo’akan orang bersin, dan lain-lain.
Selain itu, sunat juga dibagi kepada :
1. Sunat muakkad, yaitu perbuatan sunat yang senantiasa dikerjakan oleh Rasul, atau lebih banyak dikerjakan Rasul dan pada tidak dikerjakannya. Misalnya, sholat sunat han raya.
2. Sunat ghairu muakkad, yaitu segala macam perbuatan sunat yang tidak selalu dikerjakan Rasul, misalnya bersedekah pada fakir miskin. (H.Alaiddin Koto, 2004, hal. 47)
d. Makruh
Yang dimaksud dengan makruh adalah perbuatan yang bila ditinggalkan, orang yang meninggalkannya mendapat pahala, tapi orang yang mengerjakannya tidak mendapat dosa (‘iqab). Misalnya : merokok, memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap, dan lain sebagainya.
Pada umumnya, ulama membagi makruh kepada dua bagian :
1. Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik dari pada mengerjakan, seperti contoh-contoh tersebut di atas.
2. Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang, tetapi dalil yang melarangnya itu zhanny, bukan qath’i. Misalnya, bermain catur, memakan kala, dan memakan daging ular (menurut mazhab Hanafiyah dan Malikiyah). (H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 46-47)
e. Mubah
Yang dimaksud dengan mubah adalah segala perbuatan yang diberi pahala karena perbuatannya, dan tidak berdosa karena meninggalkannya. Secara umum, mubah ini dinamakan juga halal atau jaiz. (H. Alaiddin 2004, hal. 48)
2. Hukum Wadh’i
Yang dimaksud dengan hukum wadhi’i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang (man’) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut. Oleh karenanya, ulama membagi hukum wadh’i ini kepada : sebab, syarat, mani’. Namun, sebagian ulama memasukkan sah dan batal, azimah dan rukhshah. ( H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 49)
a. Sebab
Yang dimaksud dengan sebab adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai alasan bagi ada dan tidak adanya hukum. Adanya sesuatu menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu melazimkan tidak adanya hukum.
Ulama membagi sebab ini kepada dua bagian :
1. Sebab yang diluar kemampuan mukalaf. Misalnya, keadaan terpaksa menjadi sebab bolehnya memakan bangkai dan tergelincir atau tenggelamnya matahari sebagai sebab wajibnya sholat.
2. Sebab yang berada dalam kesanggupan mukalafi. Sebab ini dibagi dua:
a) Yang termasuk dalam hukum taklifi, seperti menyaksikan bulan menjadikan sebab wajib melaksanakan puasa (QS. Al-Baqarah (2):185). Begitu juga keadaan sedang dalam perjalanan menjadi sebab bolehnya tidaknya berpuasa di bulan Ramadhan (QS. Al-Baqarah (2): 185).

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.

b) Yang termasuk dalam hukum wadh’i seperti perkawinan menjadi sebabnya hak warisan antara suami menjadi sebab haramnya mengawini mertua, dan lain sebagainya (H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 49 – 50)
b. Syarat
Yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum. Namun, dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum. Misalnya, wajib zakat barang perdagangan apabila usaha perdagangan itu sudah berjalan satu tahun bila syarat berlakunya satu tahun itu belum terpenuhi, zakat itu belum wajib. Namun, dengan adanya syarat berjalan, satu tahun itu saja belumlah tentu wajib zakat, karena masih tergantung kepada sampai atau tidaknya dagangan tersebut senisab, (H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 50)
c. Mani’
Yang dimaksud dengan mani’ adalah segala sesuatu yang dengan adanya . dapat meniadakan hukum atau dapat membatalkan sebab hukum. Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa mani’ itu terbagi kepada dua macam :
1. Mani terhadap hukum. Misalnya perbedaan agama antara pewaris dengan yang akan diwarisi adalah mani (penghalang) hukum pusaka mempusakai sekalipun sebab untuk saling mempusakai sudah ada, yaitu perkawinan. Begitu juga najis yang terdapat di tubuh atau di pakaian orang yang sedang sholat. Dalam contoh ini tidak terdapat salah satu syarat sah sholat, yaitu suci dari najis. Oleh sebab itu, tidak ada hukum sahnya sholat. Hal ini disebut mani’ hukum.
2. Mani terhadap sebab hukum. Misalnya, seseorang yang memiliki harta senisab wajib mengeluarkan zakatnya Namun, karena ia mempunyai hutang yang jumlahnya sampai mengurangi nisab zakat Ia tidak wajib membayar zakat, karena harta miliknya tidak cukup senisab lagi. Memiliki harta senisab itu adalah menjadi sebab wajibnya zakat. Namun, keadaannya mempunyai banyak hutang tersebut menjadikan penghalang sebab adanya hukum wajib zakat. Dengan demikian, mani’ dalam contoh ini adalah menghalangi sebab hukum zakat. Hal ini disebut mani’ sebab. (H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 52-53)

3. Perbedaan Antara Hukum Taklifi dengan Hukum Wadh’i
Dari uraian sebelumnya dapat dilihat perbedaan antara hukum taklifi dan hukum wadhi dari dua hal :
a. Dilihat dari sudut pengertiannya, hukum takilfi adalah hukum Allah yang berisi tuntutan-tuntutan untuk berbuat atau tidak berbuat suatu perbuatan, atau membolehkan memilih antara berbuat dan tidak.berbuat. Sedangkan hukum wadh’i tidak mengandung tuntutan atau memberi. pilihan, hanya menerangkan sebab atau halangan (mani’) suatu hukum, sah dan batal.
b. Dilihat dari sudut kemampuan mukalaf untuk memikulnya, hukum taklifi selalu dalam kesanggupan mukalaf, baik dalam mengerjakan atau meninggalkannya. Sedangkan hukum wadh’i kadang-kadang dapat dikerjakan (disanggupi) oleh mukalaf dan kadang-kadang tidak. ( H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 58-59)

B. Mahkum Bihi
Mahkum bihi, yaitu perbuatan orang mukallaf yang berhubungan hukum syara’ atau yang dibebani hukum syar’i. Contoh, firman Allah swt

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa”. (QS. Al Baqarah :183)
Firman Allah swt di atas berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf yaitu berpuasa, sehingga dapat diambil pengertian bahwa status hukum puasa adalah wajib.
Contoh lain, firman Allah swt :

“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al Isra’ : 32)

Firman Allah di atas berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu mendekati zina, di mana status hukumnya adalah haram. Setiap hukum syara’ berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Adapun syarat-syarat mahkum bihi adalah sebagai berikut :
1. Hendaknya tuntutan perbuatan yang yang dikenai hukum itu diketahui dengan jelas dan pasti oleh orang mukallaf sehingga ia bisa menunaikannya sesuai dengan yang dituntut.
2. Perbuatan yang dikenai hukum itu bisa diketahui oleh orang mukallaf bahwa beban hukum tersebut berasal dan Allah, sehingga dalam mengenjakannya ada kehendak dan rasa keinginan untuk ta’at kepada Allah dan semata-mata untuk mendapat keridhoaNya.
3. Beban hukum (Taklif) tersebut adalah hal yang mungkin terjadi, karena. tidak ada taklif terhadap perbuatan yang mustahil terjadi atau diluar batas kemapuan manusia
4. Taklif tersebut jelas dan Mukallaf dapat membedakan antara perbuatanperbuatan tersebut dengan yang lainya, supaya ditentukan niat terhadap perbuatan tersebut bila hendak mengerjakannya.

C. Mahkum Alaih
Mahkum alaih ialah mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum Syar’i atau dengan kata lain orang Mukallaf menjadi tempat berlakunya hukum Allah. Dinamakan MukAllah sebagai mahkum ‘alaih adalah karena dialah yang kenai hukum syara’. Singkat kata yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih adalah mukallaf itu sendiri sedang perbuatannya dinamakan mahkum bihi.
Kemudian tuntutan-tuntutan akan perbuatan tersebut ditujukan kepada orang mukallaf, dan tidak ditujukan kepada anak-anak kecil atau orang yang sedang mengalami gangguan jiwa atau gila. Tuntutan-tuntutan Allah (taklif) selalu disesuaikan dengan kemampuan manusia. Semua tuntutan hukum baik yang berkaitan dengan hak-hak Allah maupun hak-hak sesama manusia tidak dituntutkan kecuali kepada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Oleh karena itu, kemampuan menjadi dasar adanya takHf. Allah berfirman:


Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”
Adapun kondisi manusia untuk melaksanakan hukum-hukum Allah ada tiga kemungkinan, antara lain sebagai berikut :
1. Tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk berbuat, contohnya anak kecil atau orang yang mengalami ganguan jiwa atau orang gila. Mereka tidak memilki kemampuan untuk melaksanakan hukum Allah karena belum/tidak sempurna akalnya.
2. Memiliki kemampuan untuk berbuat akan tetapi belum sempurna, yaitu anak yang sudah mumayyiz (anak yang sudah membedakan baik buruknya perbuatan). Perbuatan mumayyiz tersebut yang berkaitan dengan hak-hak Allah seperti shalat, puasa, dan lain-lain dihukumi sah tetapi belum berkewajiban untuk menunaikannya.
Memiliki kemampuan berbuat secara penuh dan sempurna, yaitu semua orang yang sudah baligh dan berakal. Semua perbuatannya yang dengan hak-hak Allah maupun yang berhubungan dengan hak-hak sesama manusia, berlaku padanya ketentuan-ketentuan hukum beserta sanksi-sanksinya dan akibatnya secara penuh, kecuali jika terdapat udzur, baik yang muncul dari tindakan manusia sendiri seperti : mabuk, bepergian, paksaan, maupun yang timbul diluar dari perbuatan manusia itu sendiri seperti : sakit, gila, lupa dan tidur.

A. HUKUM SYARA

1. Pengertian Hukum syara
Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
2. Pembagian Hukum Syara
Hukum syara terbagi dua macam:
a. Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat atau meninggalkan.
b. Hukum wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
A. HUKUM TAKLIFI
1. Wajib
a. Pengertian wajib
Wajib secara etimologi adalah tetap atau pasti. Sedangkan secara terminologi, seperti yang dikemukakan Abdul Karim Zaidan, Ahli Hukum Islam Irak, wajib berarti:
Sesuatu yang diperintahkan /diharuskan oleh Allah dan RasulNya untuk dilaksanakan oleh orang mukallaf (objek hukum)dan apabila dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya jika tidak dilaksanakan diancam dosa.
Ulama Jumhur berpendapat bahwa wajib sama dengan fardhu dalam berbagai masalah kecuali dalam satu hal yaitu dalam masalah ibadah haji. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah Fardhu adalah tuntutan untuk bertindak dalam bentuk pasti dan tuntutan itu ditetapkan dengan dalil yang Qath’i serta tidak mengandung keraguan sedangkan wajib ditetapkan dengan dalil Zhanni tetapi masih mengandung keraguan.

b. Pembagian Wajib
1. Dari segi waktu pelaksanaannya
• Wajib Muthlaq: Kewajiban yang tidak ditentukan waktu pelaksanaannya. Contoh: Mengqadha puasa Ramadhan yang tertinggal, membayar kafarah sumpah.
• Wajib Muaqqad: kewajiban yang pelaksanaannya ditentukan dalam waktu yang tertentu dan tidak sah dilakukan diluar waktu yang telah ditentukan. Jenis wajib ini dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Wajib Muwassa’: Kewajiban yang waktu yang disediakan untuk melakukannya melebihi waktu pelaksanaannya. Contoh: Shalat Dzuhur.
b. Wajib Mudhayyaq: Kewajiban yang sama waktu pelaksanaannya dengan waktu yang disediakan. Contoh: Puasa Ramadhan.
c. Wajib Dzu Syabhaini: gabungan antara wajib Muwassa’ dengan wajib Mudhayyaq. Contoh: Ibadah haji.
2. Dari segi Pelaksana
• Wajib ‘Aini: Kewajiban secara pribadi yang tidak mungkin dilakukan orang lain atau karena orang lain. Contoh: puasa dan shalat.
• Wajib Kafa’i/Kifayah: Kewajiban bersifat kelompok yang apabila tidak seorang pun melakukannya maka berdosa semuanya dan jika beberapa orang yang melakukannya maka gugur kewajibannya. Contoh: shalat jenazah.
3. Dari segi kadar yang dituntut
• Wajib Muhaddad: kewajiban yang harus sesuai dengan kadar yang ditentukan. Contoh: zakat.
• Wajib Ghairu Muhaddad: kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya. Contoh: menafkahi kerabat.
4. Dari segi kandungan perintah
• Wajib Mu’ayyan: kewajiban yang telah ditentukan dan tidak ada pilihan lain. Contoh: membayar zakat, shalat lima waktu.
• Wajib Mukhayyar: kewajiban yang objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. Contoh: kafarah pelanggaran sumpah (Al Maidah:89).
                         
89. Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin,



1. Mandub
a. Pengertian mandub
Menurut bahasa mandub adalah sesuatu yang dianjurkan. Sedangkan menurut istilah seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, adalah suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan RasulNya dimana akan diberi pahala orang yang melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang melaksanakannya. Mandub disebut juga sunnah, nafilah, mustahab, tathawwi’, ihsan, dan fadilah.
b. Pembagian mandub
1. Sunnah muakkad (sunnah yang dianjurkan)
Yaitu perbuatan yang dibiasakan oleh Rasulullah dan jarang ditinggalkannya. Contoh: shalat sunnah dua raka’at sebelum fajar.
2. Sunnah ghairu muakkad (sunnah biasa)
Yaitu sesuatu yang dilakukan Rasulullah namun bukan menjadi kebiasaannya. Contoh: shalat sunnah sebelum zhuhur yang kedua kali.
3. Sunnah al zawaid
Yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasulullah sebagai manusia. Misalnya, sopan santun dalam makan,minum dan tidur.

2. Haram
a. Pengertian haram
Kata haram secara etimologi berarti sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Secara terminologi ushul fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan RasulNya, dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Allah diberi pahala. Contoh: larangan berzina
•             
23. Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah[ lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar

b. Pembagian haram
a. Al muharram li dzatihi: sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung kemadharatan bagi kehidupan manusia, dan kemudharatan itu tidak bisa terpisah dari dzatnya.contoh:larangan zina,larangan menikahi mahram.

b. Al muharram li ghairihi: sesuatu yang dilarang bukan karena esensinya, karena secara esensial tidak mengandung kemudharatan, namun dalam kondisi tertentu, sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang dilarang secara esensial.contoh: larangan melakukan jual beli pada waktu azan shalat jum’at (al jumuah:9)

                      
9. Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.

3. Makruh
a. Pengertian makruh
Secara bahasa kata makruh berarti sesuatu yang dibenci. Dalam istilah ushul fiqh, makruh adalah ssesuatu yang dianjurkan syariat untuk meninggalkannya, dan jika ditinggalkan akan mendapat pujian dan jika dilanggar tidak berdosa.
b. Pembagian makruh
a. Makruh tahrim, yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat secara pasti, tetapi dalil yang menunjukkannya bersifat zhanni. Contoh: larangan memakai bahan sutera dan perhiasan emas bagi laki-laki.
b. Makruh tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya. Contoh: memakan daging kuda saat sangat butuh waktu perang. Sebagian ulama Hanafiyah menganggap haram namun jika sangat dibutuhkan waktu perang maka dibenarkan namun dianggap makruh.

4. Mubah
a. Pengertian Mubah
Secara etimologi, mubah artinya boleh, atau disebut juga ma’zun (yang diizinkan)/izhhar(penjelasan). Secara terminologi, ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh:
1. Sesuatu yang diserahkan syar’i kepada mukallaf untuk melaksanakan atau tidak.
2. Menurut Imam al-Syaukani, adalah: Sesuatu yang apabila dikerjakan atau ditinggalkan tidak mendapat pujian.
3. Menurut Imam al-Ghozali: Sesuatu yang ada keizinan dari Allah Ta’ala untuk melakukan atau tidak melakukannya, yang pelakunya tidak diembeli dengan pujian atau celaan dan orang yang tidak melakukannya tidak pula diembeli pujian dan celaan.
Ungkapan yang menunjukkan mubah:
1. Nash yang shahih (jelas). Contohnya Kerjakanlah jika kamu mau atau tinggalkanlah jika kamu mau.
2. Nash yang menunjukkan tidak dikenakan dosa jika perbuatan itu dilakukan. Contohnya dalam QS.al-Baqoroh:229, tentang kebolehan khulu’:
                                                   
229. Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya[144]. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.
[144] ayat inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh. Kulu' yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut 'iwadh.
maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya…
3. Lafal yang mengandung perintah untuk melaksanakan sesuatu, tetapi ada indikasi yang menunjukkan bahwa perintah itu hanya untuk kebolehan saja. Contohnya dalam QS.7:31:
Makan dan minumlah…
4. Nash yang menunjukkan kehalalan sesuatu. Misalnya, kehalalan mengkonsumsi makanan dan sesuatu yang baik. Dihalalkan bagimu pada ,malam hari bulan puasa bercampur denagn istri-istri kamu…(QS.2:187)
5. Ibadah al-Ashliyyah, yaitu sesuatu yang tidak ada dalil yang menunjukkan diperintahkan/dilarang untuk melakukannya. Oleh sebab itu ulama fiqh mengatakan “Asal segala sesuatu adalah boleh, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan perintah (untuk melakukan) atau melarang (untuk meninggalkan).
Dilihat dari segi keterkaitannya dengan mudarat dan manfaat, ulama-ulama ushul fiqh mengemukakan mubah kedalam 3 bentuk, antara lain:
1. Mubah yang apabila dilakukan/tidak dilakukan tidak mengandung mudarat, xseperti makan, minum, dan berpakaian.
2. Mubah yang apabila dilakukan mukallaf tidak ada mudaratnya, sedangkan perbuatan itu sendiri pada dasarnya diharamkan. Misalnya makan daging babi saat keadaan darurat.
3. Sesuatu yang pada dasarnya sifatnya mudarat dan tidak boleh dilakukan menurut syara’, tetapi Allah memaafkan pelakunya, sehungga pebuatan itu menjadi mubah. Contohnya, mengerjakan pekerjaan haram sebelum islam seperti mengawini ibu tiri.

B. PEMBAGIAN HUKUM WADH’I
1. Sabab
a. Pengertian Sabab
Sabab secara etimologi adalah sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai pada suatu tujuan. Secara terminologi sabab adalah sesuatu yang keberadaannya dijadikan syar’i sebagai pertanda keberadaan suatu hukum, dan ketiadaan sabab sebagai pertanda tidak adanya hukum. Misalnya, Allah menjadikan zina sebagai sabab ditetapkannya hukuman, karena zina itu sendiri bukanlah penyebab ditetapkannya hukuman, tetapi penetapan hukuman itu adalah dari syar’i.
b. Pembagian sabab
1. Dari segi objeknya:
a. Sebab al-waqti, seperti tergelincirnya matahari sebagai pertanda wajibnya shalat zhuhur (QS.17:78) “Dirikanlah shalat karena telah tergelincirnya matahari…”.
b. Sebab al-ma’nawi, seperti mabuk sebagai penyebab diharamkannya khamr.
2. Dari segi kaitannya dengan kemampuan mukallaf:
a. Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan mampu dilakuka. Misalnya, jual beli yang menjadi penyebab pemilikan harta, pembunuhan sengaja menyebabkan dikenakan hukuman dan akad nikah disebabkannya dihalalkan hubungan suami-istri. Sebab seperti ini terbagi lagi menjadi 3, yaitu:
• Sebab yang diperintahkan syara’. Contohnya, nikah menjadi penyebab terjadinya hak waris mewarisi dan nikah itu diperintahkan.
• Sebab yang dilarang syara’. Seperti pencurian sebagai penyebab dikenakan hukuman potong tangan dan pencurian itu sendiri dilarang.
• Sebab yang diizinkan(ma’zun bihi). Misalnya, sembelihan segai penyebab dihalakannya hewan sembelihan, dan penyembelihan itu sendiri adalah sesuatu yang mubah.
b. Sebab yang bukan perbuatan mukallaf dan tidak mampu untuk dilakukan. Contohnya, tergelincirnya matahari sebagai penyebab wajibnya shalat zuhur.
3. Dari segi hukumnya:
a. Sebab al-masyru’, yaitu semua yang membawa pada kemaslahatan dalam pandangan syar’i sekalipun dibarengi kemafsadatan secara zhahir, seperti jihad.
b. Sebab ghairu al-masyru’, yaitu sebab yang membawa kepada mafsadat dalam pandangan syar’i sekalipun didalamnya terkandung pula kemaslahatan secara zhahir, seperti adopsi.
4. Dari segi pengaruhnya terhadap hukum:
a. Asbabul mu’sir filhukmi (‘illat)
Contoh: mabuk sebagai sebab yang berpengaruh pada hukum, yang merupakan ‘illat keharaman khamr.
b. Assababu ghairul mu’sir fil hukmi (sebab yang tidak berpengaruh pada hukum)
Contohnya: waktu sebagai penyebab wajibnya shalat.
5. Dari segi jenis musabbab:
a. Sebab bagi hukum taklifi, seperti munculnya hilal sebagai pertanda kewajiban puasa.
b. Sebab untuk menetapkan ahk milik, melepaskan/menghalalkannya. Misalnya, jual beli sebagai penyebab kepemilikan barang yang dibeli.
6. Dari segi hubungan sabab dengan musabab:
a. Sebab al-syar’i, seperti tergelincirnya matahari sebagai sebab wajibnya shalat zuhur.
b. Sebab al-‘aqli (sebab yang hubungannya dengan musabbab didasarkan pada hukum adat kebiasaan atau ‘urf), seperti tubuh merasa tidak sehat karena ada penyakit.

2. Syarth
a. Pengertian Syarth
Secara etimologi syarth ialah syarat/’alamah/pertanda. Secara terminologi ialah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan berada diluar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya hukum pun tidak ada.
b. Macam-macam syarth
1. Dari segi kaitannya dengan sabab dan musabbab, dibagi menjadi dua:
a. Al-syarth al-mikammil li al-sabab (syarat penyempurnaan sebab) seperti haul dalam kewajiban zakat pada harta yang gtelah mencapai satu nisab.
b. Al-syarth al-mikammil il al-musabbab (syarat yang menjadi penyempurnaan bagi musabbab), seperti kemampuan menyerahkan barang sebagai penyempurnaan sebagai akad jual-beli.
2. Dari segi pensyaratannya:
a. Al-syarth al syar’i (syarat yang ditentukan syar’i terhadap berbagai hukum), seperti persyaratan yang ada dalam muamalah atau ibadah.
b. Al-syarth al-ja’li (syarat yang dibuat para mukallaf), seperti membawa barang yang telah dibeli kerumah pembeli sebagai syarat yang disepakati penjual & pembeli saat akad jual beli berlangsung.
3. Dari segi hubungan syarth dengan masyyruth
a. Al-syarth al-syar’i (syarat yang hubungannya dengan yang disyaratkan didasarkan atas hukum syara’), seperti wudhu uuntuk shalat.
b. Al-syarth al’aqli (syarat yang disyaratkan didasarkan atas nalar manusia).
c. Al-syarth al-‘adi (syarat yang hubungannya dengan yang disyaratkan didasarkan kepada adat kebiasaan/’urf).

3. Mani’
a. Pengertian Mani’
Secara etimologi mani’ berarti halangan, sedangkan secara terminologi adalah sifat zhahir yang dapat diukur yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau ketiadaan sebab.
b. Macam-macam Mani’
1. Dari segi pengaruhnya kepada hukum dan sebab
• Mani’ yang berpengaruh terhadap sabab, karena mani’ merusak hikmah yang ada pada sabab. Contoh: hutang menyebabkan batalnya kewajiban zakat, karena harta tersebut tidak mencapai satu nishab lagi (sabab).
• Mani’ yang berpengaruh terhadap hukum, yang artinya menolak adanya hukum meskipun ada sabab yang mengakibatkan adanya hukum.
a. Mani’ yang tidak berkumpul dengan hukum taklifi, yaitu sesuatu yang menyebabkan hilangnya akal sehingga menyebabkan terhalangnya taklif.
b. Mani’ yang bersamaan dengan ahliyyah taklif, tetapi mani’ itu menghilangkan taklif.
c. Mani’ yang menghilangkan kemestian taklif, dan membawa seseorang untuk bersikap memilih.
Ulama Hanafiyah membagi mani’ kepada lima macam, yaitu:
1. Mani’ yang menyebabkan tidak berlakunya akad, seperti objek jual beli tidak ada.
2. Mani’ yang menyebabkan akad tidak sempurna bagi orang ketiga di luar akad, seperti Bai’ Al Fudhuli.
3. Mani’ memulai hukum, seperti khiyar Syarth dalam jual beli.
4. Mani’ untuk menyempurnakan hukum, seperti keberadaan khiyar Ru’yah dalam jual beli.
5. Mani’ yang menghalangi sifat mengikat suatu hukum, seperti adanya cacat dalam barang yang dibeli.

4. Sah, Fasad, dan Batal
a. Pengertian Sah, Fasad, dan Batal
Secara etimologi sah atau Shihhah atau shahih artinya sakit. Secara terminologi, sah yaitu tercapainya sesuatu yang diharapkan secara syara’, apabila sebabnya ada, syaratnya terpenuhi, halangan tidak ada, dan berhasil memenuhi kehendak syara’ pada perbuatan itu.
Secara etimologi fasad berarti perubahan sesuatu dari keadaan yang semestinya. Secara terminologi menurut jumhur ulama sama dengan batal. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah adalah kerusakan yang tertuju kepada salah satu sifat, sedangkan hukum asal perbuatan itu disyari’atkan.
b.Status Sah, fasad, dan batal
Wahbah Al Zuhaili mengatakan bahwa yang terkuat dalam pendapat mayoritas ulama ushul fiqh yang mengatakan bahwa sah, fasad, dan batal termasuk dalam hukum wadh’i karena yang dimaksudkan dengan sah adalah tercapainya ketentuan syara’ dalam suatu perbuatan, dan batal atau fasad, tidak terdapatnya pengaruh syara’ dalam perbuatan tersebut.
5. ’Azimah
a. Pengertian ‘Azimah
Secara etimologi ‘azimah adalah tekad yang kuat. Sedangkan secara terminologi adalah hukum-hukum yang telah disyari’atkan Allah kepada seluruh hambaNya sejak semula. Jumhur ulama menyatakan bahwa yang termasuk ‘azimah adalah kelima hukum taklifi yaitu wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah.
b.Macam-macam ‘Azimah
1. Hukum yang disyari’atkan sejak semula untuk kemashlahatan umat manusia seluruhnya, seperti ibadah dan mu’amalah.
2. Hukum yang disyari’atkan karena ada sesuatu sebab yang muncul, seperti hukum mencaci berhala atau sesembahan agama lain.
3. Hukum yang disyari’atkan sebagai pembatal hukum yang sebelumnya, seperti peristiwa pengalihan arah kiblat.
4. Hukum pengecualian dari hukum-hukum yang umum, seperti larangan mengawini wanita yang bersuami dengan lafaz yang bersifat umum, kemudian dikecualikan dengan wanita-wanita yang menjadi budak (An Nisaa’:24).


6. Rukhshah
a. pengertian Rukhshah
Secara etimologi rukhshah berarti kemudahan, kelapangan, dan kemurahan. Secara terminologi Imam Al Baidhawi menyatakan yaitu hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil, karena adanya uzur. Jadi Rukhshsah adalah keriranganan dan kelapangan yang diberikan kepada seorang mukallaf dalam melakukan perintah dan menjauhi larangan.
b.Macam-macam rukhshah
1. Dari segi bentuk hukum asalnya
• Rukhshah melakukan adalah keringanan dalam melaksanakan suatu perbuatan yang menurut asalnya harus ditinggalkan. Contoh: memakan daging babi dalam keadaan terpaksa. (Al Baqarah:173)
• Rukhshah meninggalkan adalah keringanan untuk meninggalkan perbuatan yang menurut hukum ‘azimahnya adalah wajib atau sunnah. Contoh: kebolehan meninggalkan puasa Ramadhan bagi orang sakit atau dalam perjalanan (Al Baqarah:184).
2.Dari segi bentuk keringanan yang diberikan
• Keringanan dalam bentuk menggugurkan kewajiban, seperti bolehnya meninggalkan shalat jum’at, haji, umrah, dan jihad dalam keadaan udzur.
• Keringanan dalam bentuk mengurangi kewajiban, seperti mengqashar shalat empat raka’at menjadi dua raka’at bagi orang yang berada dalam perjalanan jauh.
• Keringanan dalam bentuk mengganti kewajiban, seperti menggantikan kewajiban berdiri dalam shalat dengan duduk, berbaring atau isyarat dalam keadaan tidak mampu.
• Keringanan dalam bentuk penangguhan pelaksanaan kewajiban, seperti menangguhkan shalat zhuhur ke waktu ashar pada jama’ ta’khir karena dalam perjalanan jauh.
• Keringanan dalam bentuk mendahulukan pelaksanaan kewajiban, seperti mendahulukan shalat ‘ashar pada waktu zhuhur dalam jama’ taqdim dalam perjalanan jauh.
• Keringanan dalam bentuk mengubah kewajiban, seperti pelaksanaan shalat khauf (shalat dalam perang).
• Keringanan dalam bentuk membolehkan mengerjakan perbuatan haram dan meninggalkan wajib karena udzur, seperti memakan daging babi saat keadaan darurat.

c.Hukum menggunakan Rukhshah
Pada dasarnya rukhshah itu adalah pembebasan seorang mukallaf dari melakukan tuntutan hukum ‘azimah dalam keadaan darurat, jadi dengan sendirinya hukumnya boleh. Menurut jumhur ulama menggunakan rukhshsah tergantung pada bentuk udzur yang menyebabkan adanya rukhshah itu. Jadi hukum rukhshah bisa menjadi wajib seperti dalam keadaan darurat memakan daging babi, sedangkan jika tidak menggunakan rukhshah akan dikhawatirkan dapat mencelakakan dirinya. Bisa juga menjadi sunnah seperti berbuka puasa Ramadhan bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan.
B. OBJEK HUKUM (MAHKUM BIH)
Objek hukum atau mahkum nih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum syar’i.[3]
Adapun syarat-syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum menurut para ahli Ushul Fiqh adalah sebagai berikut:
1. Perbuatan itu sah dan jelas adanya; tidak mungkin memberatkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti mencat langit.
2. Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.
3. Perbuatan itu sesuat yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam kemampuannya untuk melakukannya.
C. SUBJEK HUKUM (MAHKUM ‘ALAIH)
Subjek hukum atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah.
Adapun syarat-syarat taklif atas subjek hukum, adalah sebagai berikut:
1. Ia memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah.
2. Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum.
3. Ahliyah al-Ada Kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.
D. PEMBUAT HUKUM (HAKIM)
Pembuat hukum (syar’i) dalam pengertian Islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia di atas bumi ini dan Dia pula yang menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan kepentingan hidup di dunia maupun untuk kepentingan hidup di akhirat; baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah, maupun hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitarnya.